RESPON ORGANISASI MASYARAKAT (ORMAS) ISLAM
TERHADAP FATWA MUI “GOLPUT HARAM”
(Studi pada Ormas-ormas Islam di Jawa Timur)
Latar Belakang Masalah
Semarak politik 2009 memunculkan berbagai komentar dari sejumlah kalangan, baik dari sejumlah ahli, pengamat ataupun dari masyarakat. Perjalanan politik di Indonesia dewasa ini kajiannya tidak terlepas pada politik yang bertumpu pada demokrasi, dan bagaimana bentuknya mempengaruhi keputusan yang dilakukan.
Hal ini berakibat pada bentuk partisipasi politik yang diberikan oleh masing-masing orang. Partisipasi politik itu dapat berupa penggunaan hak suara dalam pemilu, mengikuti diskusi-diskusi seputar politik, mencari informasi tentang profil partai politik, mengikuti kampanye terbuka, membantu sosialisasi pemilu kepada masyarakat, ataupun turut mengawasi jalannya pemilu.
Berbagai partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat guna menyikapi pemilu 2009 cukup beragam. Termasuk keputusan untuk memilih Golput (golongan putih), kemudian berlanjut berbagai kontroversi yang muncul di permukaan sebagai konsekuensi atas dikeluarkannya keputusan ini. MUI sebagai lembaga keagamaan yang muncul di Indonesia mencoba untuk mengakomodir permasalahan-permasalahan agama yang muncul di masyarakat.
Pada tanggal 25 Januari 2009 lalu, Sidang Pleno Ijtima Ulama se-Indonesia III menetapkan sebuah fatwa mengenai penggunaan hak pilih dalam pemilu. Pada pokoknya, fatwa tersebut menetapkan bahwa memilih calon wakil rakyat yang memenuhi syarat ideal adalah wajib hukumnya. Menurut H. Sholahuddin al-Aiyub, ulama yang menyampaikan hasil sidang komisi yang membahas fatwa itu, syarat ideal yang harus dipenuhi seorang wakil rakyat adalah beriman, bertaqwa, jujur terpercaya, aktif dan aspiratif, mempunyai kemampuan dan memperjuangkan kepentingan umat Islam (Inilah.com, 26/01/09). Fatwa tersebut juga menentukan bahwa haram hukumnya apabila memilih calon wakil rakyat yang tidak memenuhi syarat ideal tersebut. Haram juga hukumnya apabila pemilih tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu padahal ada calon wakil rakyat yang memenuhi syarat ideal tersebut.
Beberapa orang menyambut dan mendukung keputusan itu dalam rangka mendorong suksesnya pemilu 2009. Namun juga tidak sedikit orang yang kecewa dengan keputusan itu termasuk Organisasi Masyarakat (Ormas) Nahdatul Ulama (NU) Jawa Timur melalui Lembaga Bathsul Masail menyatakan pemilih boleh menjadi golongan putih. Pasalnya, menggunakan hak pilih bukan fardu ain atau harus dilakukan setiap orang. Sekretaris Lembaga Bathsul Masail NU Jatim Imam Syuhada mengatakan, hukum menggunakan hak pilih adalah fardu kifayah (Kompas.com).
Dilihat dari konteks sejarah, berdirinya MUI sebagai lembaga keagamaan melalui “PIAGAM BERDIRINYA MUI” yang ditandatangani pada tanggal 26 Juli 1975 oleh 26 orang ulama yang mewakili 26 Provinsi di Indonesia pada masa itu, Ormas (Organisasi Masyarakat) Islam merupakan unsur yang penting dalam keikutsertaan gagasan untuk pendirian lembaga keagamaan tersebut. Terdapat 10 orang ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat, yaitu, NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al Washliyah, Math’laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan Al Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam, Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut dan POLRI, serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan.
Berpijak dari fakta di lapangan tersebut, peneliti merangkum permasalahan di atas dalam judul “RESPON ORGANISASI MASYARAKAT (ORMAS) ISLAM TERHADAP FATWA MUI “GOLPUT HARAM” (Studi pada ormas-ormas Islam di Indonesia). Penelitian ini akan menjadi urgen mengingat pemilu capres akan dilaksanakan dalam waktu dekat tepatnya pada tahun 2009, sehingga sumbangsih pada penelitian ini akan dapat menjawab bagaimana peran lembaga keagamaan dalam kegiatan politik di Indonesia dan apa implikasi dari kebijakan-kebijakan serta keputusan yang diberikan bagi masyarakat di Indonesia.
Rumusan Masalah
Berangkat dari deskripsi di atas, permasalahan yang dijadikan kajian dalam penelitian ini adalah: Bagaimana Respon Organisasi Masyarakat (Ormas) Islam terhadap fatwa MUI “Golput Haram” ?
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana respon Organisasi Masyarakat (Ormas) Islam terhadap fatwa MUI “Golput Haram”.
Manfaat Penelitian
Hasil kajian dalam penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan berguna baik secara teoretis maupun praktis. Secara teoretis, hasil temuan penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam megeluarkan keputusan fatwa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) selanjutnya. Selain itu, temuan dalam penelitian ini juga dapat meperkaya perspektif para peminat kajian tentang persepsi dan reaksi terhadap kebijakan ataupun keputusan fatwa yang mengalami keragaman pendapat di masyarakat.
Secara praktis, temuan dalam penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi para praktisi (pengurus MUI) dalam memahami perbedaan yang muncul dalam masyarakat yang majemuk guna penyikapan yang lebih arif dan melalui pertimbangan secara matang setiap keputusan atau kebijakan dalam hal ini dikenal sebagai fatwa MUI.
Batasan Masalah
Dalam penelitian ini, objek penelitian dilaksanakan pada Organisasi Masyarakat (Ormas) Islam Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah yang terletak di Jawa Timur. Dengan menggunakan pendekatan tiga wilayah di Jawa Timur yakni meliputi wilayah Tapal kuda, Mataraman, dan Arekan. Wilayah Tapal Kuda yang digunakan sebagai lokasi penelitian adalah kota Pasuruan, Probolinggo, dan Jember. Pada wilayah Mataraman, meliputi kota Nganjuk dan Madin. Sedangkan pada wilayah Arekan dilakukan di kota Surabaya dan Malang.
Kerangka Teori
Teori Stimulus Respon
Teori stimulus-respons pada dasarnya merupakan suatu prinsip belajar yang sederhana, di mana efek merupakan reaksi terhadap stimulus tertentu. Dengan demikian seseorang dapat menjelaskan suatu kaitan antara repons yang muncul terhadap dikeluarkannya fatwa MUI tentang “Golput Haram” dan reaksi organisasi mayarakat (Ormas). McQuail (1994: 234) menjelaskan bahwasannya elemen-elemen utama dalam teori ini adalah: (a) pesan (Stimulus); (b) seorang penerima atau receiver (Organisme); dan (c) efek (Respons).1
Respon ada yang positif dan ada pula yang negatif. Respon yang positif muncul disebabkan adanya ketepatan seseorang melakukan respons terhadap stimulus yang ada dan tentunya sesuai dengan yang diharapkan. Sedangkan yang negatif adalah apabila seseorang memberi reaksi justru sebaliknya dari apa yang diharapkan oleh pemberi rangsangan.
Teori stimulus-respons juga memandang bahwa pesan dipersepsikan dan didistrbusikan secara sistematik dan dalam skala yang luas. Pesan, karenanya, tidak ditujukan kepada orang dalam kapasitasnya sebagai individu, tapi sebagai bagian dari masyarakat. Fatwa MUI tentang “Golput Haram” yang dikeluarkan oleh MUI yang diterima masyarakat dianggap sebagai sebuah stimulus yang muncul yang kemudian akan direspon oleh masyarakat yang dalam hal ini melibatkan organisasi masyarakat (Ormas Islam).
Organisasi Mayarakat (Ormas) Islam
Di dalam Pasal 1 UU No 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas), yang dimaksud dengan Organisasi Kemasyarakatan adalah organisasi yang dibentuk oleh anggota masyarakat warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama, dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, untuk berperan serta dalam pembangunan dalam rangka mencapai tujuan nasional dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.2
Kita mengenal organisasi masyarakat yang dibentuk oleh dan atas prakarsa anggota masyarakat sendiri, namun juga dikenal organisasi swasta yang dibentuk ataupun disponsori oleh para pejabat pemerintah. Ada organisasi masyarakat yang bergerak di bidang sosial-ekonomi dan ada pula yang mengkhususkan diri dalam kegiatan politik; sementara ke dua aktivitas tersebut dilakukan oleh suatu organisasi secara serempak atau bergiliran. Ditemukan organisasi masyarakat yang terorganisir secara ketat, sementara ada pula yang disusun secara longgar sehingga mirip pertemuan sekolompok orang yang tidak direncanakan.3
Teori kemasyarakatan yang disusun oleh kaum pluralisme menggambarkan bahwa masyarakat bukanlah tersusun dari individu, akan tetapi dibentuk oleh kelompok. Kelompok dianggap sebagai unit dasar dari masyarakat.4
Suatu bentuk dari kelompok adalah gerakan masyarakat. Dikatakan demikian karena ada persamaan dan perbedaan antara ke dua bentuk kelompok masyarakat tertentu.5 Sungguh tidak suatu keharusan, namun baik kelompok maupun gerakan masyarakat memperlakukan organisasi sebagai salah satu sarana perjuangan untuk mencapai tujuan dan sasaran yang telah disepakati. Namun sejarah pertumpuhan masyarakat telah memperlihatkan bahwa samakin kompleks masyarakat yang antara lain diperlihatkan oleh persaingan yang semakin ketat dan kebutuhan yang semakin banyak jumlah ragamnya, telah meningkatkan keperluan dan kesadaran berorganisasi di kalangan masyarakat Indonesia.6
Aktivitas organisasi masyarakat berkaitan langsung dengan keseluruhan anggota atau pendukung organisasi itu sendiri. Dikemukakan seperti itu, karena tidaklah dapat diabaikan adanya kenyataan bahwa pembentukan organisasi itu maksudnya untuk melayani keperluan anggota atau pendukung tersebut.7
Karena kepentingan pada hakikatnya merupakan perwujudan dari satu atau beberapa aspek kehidupan, maka aktivitas organisasi pun diarahkan kepada aspek kehidupan yang menjadi perhatian. Atau kepentingan utama dari anggota ataupun dari pendukung organisasi yang bersangkutan. Sejalan dengan pemikiran tersebut, organisasi mayarakat dapat dibedakan atas organisasi politik yang lazimnya disebut sebgai partai politik (PDI, PPP); organisasi ekonomi, seperti koperasi perusahaan (PT, CV); organisasi sosial (masyarakat), seperti HMI, Dian desa; organisasi kebudayaan, seperti PARFI, HSBI; Organisasi agama seperti MAWI, NU, DGI;dan lain-lain.8
Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Agama mempunyai peranan yang sangat penting dan strategis dalam program pembangunan sosial yaitu sebagai landasan spiritual, moral, dan etika dalam pembangunan nasional. Agama sebagai sistem nilai harus dipahami dan diamalkan oleh setiap individu, keluarga, dan masyarakat sehingga dapat menjiwai kehidupan berbangsa dan bernegara. Agama memiliki daya konstruktif, regulatif, dan reformatif dalam pembangunan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pengamalan agama mempunyai daya tangkal yang efektif terhadap kecenderungan untuk berperilaku menyimpang, mengumbar hawa nafsu, bertindak di luar batas kemanusiaan dan/atau hukum yang berlaku, melakukan kolusi, korupsi dan nepotisme serta perilaku negatif lainnya.9
MUI sebagai lembaga keagamaan yang ada di Indonesia jelas memiliki peran dan pengaruh yang penting dalam masyarakat. Majelis Ulama Indonesia mempunyai sembilan orientasi perkhidmatan, yaitu10:
Diniyah
Majelis Ulama Indonesia merupakan wadah perkhidmatan yang mendasari semua langkah dan kegiatannya pada nilai dan ajaran Islam yang kaffah.
Irsyadiyah
Majelis Ulama Indonesia merupakan wadah perkhidmatan dakwah wal irsyad, yaitu upaya untuk mengajak umat manusia kepada kebaikan serta melaksanakan amar makruf dan nahyi munkar dalam arti yang seluas-luasnya. Setiap kegiatan Majelis Ulama Indonesia dimaksudkan untuk dakwah dan dirancang untuk selalu berdimensi dakwah.
Istijabiyah
Majelis Ulama Indonesia merupakan wadah perkhidmatan yang berorientasi istijabiyah, senantiasa memberikan jawaban positif dan responsif terhadap setiap permasalahan yang dihadapi masyarakat melalui prakarsa kebajikan (amal saleh) dalam semangat berlomba dalam kebaikan (istibaq fi al-khairat).
Huirriyah
Majelis Ulama Indonesia merupakan wadah perkhidmatan independen yang bebas dan merdeka serta tidak tergantung maupun terpengaruh oleh pihak-pihak lain dalam mengambil keputusan, mengeluarkan pikiran, pandangan dan pendapat.
Ta'awuniyah
Majelis Ulama Indonesia merupakan wadah perkhidmatan yang mendasari diri pada semangat tolong menolong untuk kebaikan dan ketakwaan dalam membela kaum dhu'afa untuk meningkatkan harkat dan martabat, serta derajat kehidupan masyarakat. Semangat ini dilaksanakan atas dasar persaudaraan di kalangan seluruh lapisan umat Islam (ukhuwwah Islamiyah). Ukhuwah Islamiyah ini merupakan landasan bagi Majelis Ulama Indonesia untuk mengembangkan persaudaraan kebangsaan (ukhuwwah wathaniyyah) dan memperkukuh persaudaraan kemanusiaan (ukhuwwah basyariyyah).
Syuriyah
Majelis Ulama Indonesia merupakan wadah perkhidmatan yang menekankan prinsip musyawarah dalam mencapai permufakatan melalui pengembangan sikap demokratis, akomodatif dan aspiratif terhadap berbagai aspirasi yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat.
Tasamuh
Majelis Ulama Indonesia merupakan wadah perkhidmatan yang mengembangkan sikap toleransi dan moderat dalam menghadapi masalah-masalah khilafiyah.
Qudwah
Majelis Ulama Indonesia merupakan wadah perkhidmatan yang mengedepankan kepeloporan dan keteladanan melalui prakarsa kebajikan yang bersifat perintisan untuk kemaslahatan umat.
Addualiyah
Majelis Ulama Indonesia merupakan wadah perkhidmatan yang menyadari dirinya sebagai anggota masyarakat dunia yang ikut aktif memperjuangkan perdamaian dan tatanan dunia sesuai dengan ajaran Islam.
Majelis ulama Indonesia mempunyai lima peran utama, yaitu :
Sebagai Pewaris Tugas-Tugas Para Nabi (Warasat al-anbiya)
Majelis Ulama Indonesia berperan sebagai ahli waris tugas-tugas para Nabi, yaitu menyebarkan ajaran Islam serta memperjuangkan terwujudnya suatu kehidupan sehari-hari secara arif dan bijaksana berdasarkan Islam.
Sebagai waratsatu al-anbiyaa (ahli waris tugas-tugas para nabi).
Majelis Ulama Indonesia menjalankan fungsi kenabian (an-nubuwwah), yakni memperjuangkan perubahan kehidupan agar berjalan sesuai ajaran Islam, walaupun dengan konsekuensi akan menerima kritik, tekanan, dan ancaman karena perjuangannya bertentangan dengan sebagian tradisi, budaya, dan peradaban manusia.
Sebagai Pemberi Fatwa (Mufti)
Majelis Ulama Indonesia berperan sebagai pemberi fatwa bagi umat Islam baik diminta maupun tidak diminta. Sebagai lembaga pemberi fatwa Majelis Ulama Indonesia mengakomodasi dan menyalurkan aspirasi umat Islam Indonesia yang sangat beragam aliran paham dan pemikiran serta organisasi keagamaannya.
Sebagai Pembimbing dan Pelayan Umat (Ra'iy wa khadim al ummah)
Majelis Ulama Indonesia berperan sebagai pelayan umat (khadim al-ummah), yaitu melayani umat dan bangsa dalam memenuhi harapan, aspirasi dan tuntutan mereka. Dalam kaitan ini, Majelis Ulama Indonesia senantiasa berikhtiar memenuhi permintaan umat, baik langsung maupun tidak langsung, akan bimbingan dan fatwa keagamaan. Begitu pula, Majelis Ulama Indonesia berusaha selalu tampil di depan dalam membela dan memperjuangkan aspirasi umat dan bangsa dalam hubungannya dengan pemerintah.
Sebagai Penegak Amar Makruf dan Nahyi Munkar
Majelis Ulama Indonesia berperan sebagai wahana penegakan amar makruf nahyi munkar, yaitu dengan menegaskan kebenaran sebagai kebenaran dan kebatilan sebagai kebatilan dengan penuh hikmah dan istiqamah. Dengan demikian, Majelis Ulama Indonesia juga merupakan wadah perhidmatan bagi pejuang dakwah (mujahid dakwah) yang senantiasa berusaha merubah dan memperbaiki keadaan masyarakat dan bangsa dari kondisi yang tidak sejalan dengan ajaran Islam menjadi masyarakat dan bangsa yang berkualitas (khairu ummah).
Sebagai Pelopor Gerakan Pembaharuan (al-Tajdid)
Majelis Ulama Indonesia berperan sebagai pelopor tajdid yaitu gerakan pembaruan pemikiran Islam.
Sebagai Pelopor Gerakan Ishlah
Majelis Ulama Indonesia berperan sebagai juru damai terhadap perbedaan yang terjadi di kalangan umat. Apabila terjadi perbedaan pendapat di kalangan umat Islam maka Majelis Ulama Indonesia dapat menempuh jalan al-jama'u wat taufiq (kompromi dan persesuaian) dan tarjih (mencari hukum yang lebih kuat). Dengan demikian diharapkan tetap terpelihara semangat persaudaraan (ukhuwwah) di kalangan umat Islam Indonesia.
Demokrasi dan Politik Indonesia
Demokrasi merupakan sebuah istilah yang sangat populer dalam wacana politik. Berbicara tentang perjalanan demokrasi di Indonesia, sebenarnya dapat dipahami dalam dua dimensi, yakni: pemahaman secara normatif dan pemahaman secara empirik atau disebut prosedural democracy. Secara normatif, demokrasi dimaknai sebagai sesuatu yang secara idiil hendak dilakukan atau diselenggarakan oleh sebuah negara yang kemudian di Indonesia diterjemahkan dalam Undang-undang Dasar 1945 bagi Pemerintah Republik Indonesia. Hal ini termaktub dalam UUD Pasal 1 ayat 1 dan juga pasal 29 ayat 2. Sedangkan demokrasi dipahami secara empirik mengijinkan kita untuk mengamati: apakah dalam suatu sistem politik pemerintah memberikan ruang gerak yang cukup bagi warga masyarakatnya untuk melakukan partisipasi guna memformulasikan preferensi politik mereka melalui organisasi politik yang ada? Di samping itu, kita diperkenankan untuk mengamati: sejauh mana kompetisi antara para pemimpin dilakukan secara teratur (reguler basis) untuk mengisi jabatan politik?. Hal ini untuk menghindari kemungkinan seseorang memperoleh jabatan politik secara terus meneru, tanpa pembatasan.11
Pemilihan Umum. Pada masa pemerintahan Orde Baru , Pemilihan Umum telah dilangsungkan sebanyak enam kali, dengan frekuensi yang teratur, yaitu setiap lima tahun sekali. Namun, kalau mengamati kualitas penyelenggaran Pemilihan Umum di Indonesia, mau tidak mau, kita akan sampai pada suatu kesimpulan, bahwa Pemilihan Umum tersebut masih jauh dari semangat demokrasi (Afan Gaffar, 1988).
Kedua. Mekanisme penyelenggaraan, misalnya nominasi calon anggota wakl rakyat, pengaturan, dan pelaksanaan kampanye, pemberian dan perhitungan suara, dan lain sebagainya.12
Hampir semua sarjana politik sepakat bahwa pemilu merupakan saru kriteria penting untuk mengukur kadar demokrasi sebuayh sistem politk. Dahl (1985), Carter dan Herz (1982), Mayo (1982), Ranney (1990), dan Sundhausen (1992), ada beberapa di antaranya.13
Mencermati praktik pemilu dalam sistem politik modern, kita dapat membedakan dua tipe pemilu: pemilu sebagai formalitas politik dan pemilu sebagai alat demokrasi.
Sebagai formalitas politik, pemilu hanya dijadikan alat legalisasi pemerintahan nondemokratis. Pemilunya sendiri dekalankan secara tidak demokratis. Kemenangan satu konsestan lebih merupakan hasil rekayasa kekuasan ketimbang hasil pilihan politik rakyat. Pemenang pemilu terkadang sudah diketahui sebelum pemilunya sendiri berlangsung. Tentu saja, sistem politik yang menjalankannya sulit dikategorikan demokratis.14
Mengingat pemilu adalah titik awal pembentukan sebuah representative goverment, maka kelemahan dalam praktik pemilu memiliki implikasi luas terhadap praktik sistem politik. Dalam kerangka ini, setitidaknya kita bisa mendiskusikan beberapa ekses penting pemilu Orde Baru terhadap terhadap kinerja sistem politik.
Masyarakat Indonesia sebenarnya dapat dikatakan telah akrab dengan pemilu. Secara teratur seriap lima tahun, semenjak 1971, Indonesia menyelenggarakan pemilu untuk memilih anggota DPRD I, DPRD II, DPR dan MPR. Pemilu pertama diselenggarakan pada 3 Juli 1971, kedua pada 2 Mei 1977, ketiga pada 4 Mei 1982, keempat pada 23 Mei 1987 dan kelima pada 9 Juni 1992. sebelumnya, pada masa liberal, Indonesia telah menyelenggarakan pemilu satu kali, yaitu pada 29 September 1955. Sehingga secara keseluruhan sejak memproklamirkan kemerdekaan, Indonesia telah menyelenggarakan 6 pemilu.15
Pemilu-pemilu pada Orde Baru juga ditandai oleh tingginya tingkat partisipasi politik. Tercatat bahwa 94,2 persen dari penduduk berhak pilih menggunakan hak pilihnya dalam pemilu 1971. Angka ini kemudian, hanya bergeser sedikit untuk tiap pemilu: 90,03 persen (Pemilu 1977), 92,03 persen (1982), 91,03 (1987), dan 90,91 persen (1992).16
“Golput” atau Golongan Putih adalah sikap untuk tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu. Dari segi peraturan, menurut Setia Permana, golput merupakan hak setiap individu, sehingga tidak perlu dipermasalahkan. Pendapat ini ditentang oleh Yesmil Anwar yang menganggap golput adalah masalah besar bangsa Indonesia dan memandang golput sebagai kegagalan sosialisasi pemerintah khususnya partai politik.17
Selain itu menurut ekonom Prof. Erni T. Sule, angka golput yang tinggi juga membuktikan adanya kegagalan dalam manajemen paran dattai dan manajemen perpolitikan di Indonesia. Munculnya fenomena Golput memiliki latar belakang alasan yang berbeda, mengapa harus memilih Golput? atau muncul petanyaan yang berbalik, apakah Golput merupakan bagian dari bentuk partisipasi politik?, mengapa harus ada fatwa tentang haram golput?
Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary di Jakarta tengah mengumumkan 34 partai politik nasional yang ditetapkan sebagai peserta Pemilihan Umum 2009. Terdiri dari 16 parpol lama yang memiliki kursi di DPR dan 18 parpol baru yang lolos verifikasi faktual. Juga 6 partai politik lokal di Aceh.Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga tengah melakukan undian nomor urut partai politik untuk Pemilu 2009. Undian itu dihadiri dan dilakukan para pimpinan partai. Berikut ini urutannya:
Partai Hati Nurani Rakyat
Partai Karya Peduli Bangsa
Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia
Partai Peduli Rakyat Nasional
Partai Gerakan Indonesia Raya
Partai Barisan Nasional
Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia
Partai Keadilan Sejahtera
Partai Amanat Nasional
Partai Perjuangan Indonesia Baru
Partai Kedaulatan
Partai Persatuan Daerah
Partai Kebangkitan Bangsa
Partai Pemuda Indonesia
Partai Nasional Indonesia Marhaenisme
Partai Demokrasi Pembaruan
Partai Karya Perjuangan
Partai Matahari Bangsa
Partai Penegak Demokrasi Indonesia
Partai Demokrasi Kebangsaan
Partai Republika Nusantara
Partai Pelopor
Partai Golongan Karya
Partai Persatuan Pembangunan
Partai Damai Sejahtera
Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia
Partai Bulan Bintang
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
Partai Bintang Reformasi
Partai Patriot
Partai Demokrat
Partai Kasih Demokrasi Indonesia
Partai Indonesia Sejahtera
Partai Kebangkitan Nasional Ulama.
Penelitian Terdahulu
Penelitian tentang respons Ormas terhadap dikeluarkannya fatwa MUI masih belum begitu banyak. Salah satunya adalah desertasi dari DR. H. Mohammad Atho Mudzhar dari California University, USA, 1990 dengan judul asli, “Fatwas of The Council of Indonesian ‘Ulama: A study of Islamic Legal Thought in Indonesia, 1975-1988”, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988”, diterbitkan oleh INIS, Jakarta, 1993. Terdiri atas 168 halaman.
Studi ini berusaha menentukan sifat fatwa-fatwa MUI dari segi metode perumusannya, keadaan sosial politik yang ada disekelilingnya, dan reaksi masyarakat terhadap fatwa-fatwa tersebut. Berkenaan dengan metode perumusan, studi ini berupaya meneliti metode yang digunakan dalam menyusun fatwa dan menyelidiki bagaimana fatwa-fatwa itu mencerminkan atau berlainan dengan teks klasik jurisprodensi, terutama dalam madzhab Syafii. Tentang sosio-politik, berusaha mengenali lingkungan sosio-politik yang mungkin mendorong lahirnya fatwa-fatwa; sedang soal reaksi masyarakat, berusaha menentukan sejauh mana mereka menolak atau menerima fatwa-fatwa itu, termasuk pertentangan yang ditimbulannya.
Hanya saja dalam penelitian ini DR. H. Muhammad Ato Mudzhar belum menjelaskan secara detail bagaimana ormas-ormas Islam menanggapi fatwa-fatwa MUI yang di masyarakat mengalami kontroversi.
Menurut peneliti, fatwa MUI yang dijadikan objek penelitian adalah kebanyakan penelitian pada proses yang terjadi dalam lembaganya. Fokus penelitian sebagian besar tertuju pada persoalan metode yang digunakan di MUI, membandingkan keberadaan MUI yang lalu dengan sekarang. Sedangkan penelitian yang mengambil fokus tentang bagaimana peran serta MUI sebagai lembaga keagamaan dalam turut serta mengatur kehidupan masyarakat terlebih pada implementasi fatwa-fatwa yang dikeluarkannya masih sangat langka. Didorong oleh semangat untuk mengisi ruang kosong itulah peneliti melakukan penelitian ini.
Metodologi Penelitian
Jenis dan Pendekatan
Berdasarkan pemaparan di atas, maka penelitian ini merupakan penelitian lapangan. Dengan menggunakan metode field research, peneliti terjun langsung menggali data di lapangan dengan cara mengadakan wawancara dan melakukan deskripsi di lapangan untuk berusaha menggambarkan sebuah kenyataan atau fenomena18, sehingga di sana bisa diketahui persepsi dan reaksi yang muncul dalam masyarakat sebagai akibat dikeluarkannya fatwa MUI tentang pengharaman Golput secara deskriptif-eksploratif.
Pendekatan dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan kualitatif, yakni sebuah pendekatan penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian dalam hal persepsi, motivasi, tindakan dll., secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah19.
Sumber Data
Adapun sumber data dalam penelitian ini adalah keseluruhan sumber informasi berupa orang-orang yang dapat memperkaya informasi tentang persoalan yang menjadi pusat perhatian dalam penelitian ini. Data yang digunakan ada dua macam; primer dan sekunder. Data primer meliputi Hasil wawancara terhadap reaksi para tokoh Organisasi Masyarakat (Ormas) tentang dikeluarkannya fatwa bahwa Golput dihukumi haram. Data sekunder mencakup tentang informasi pro dan kontra fatwa MUI dari bahan-bahan media massa baik cetak maupun elektronik.
Metode Pengumpulan Data
Peneliti menggunakan metode pengumpulan data dengan Dokumentasi dan Wawancara yang merupakan metode yang lazim digunakan pada penelaitian kualitatif20. Dokumentasi dan Wawancara dibuat dan dikembangkan berdasarkan kerangka spradley,21 yaitu dimulai dengan dokumentasi terhadap literatur tentang Golput terhadap reaksi serta komentar yang bermunculan dalam media. Wawancara yang dilakukan meliputi wawancara deskriptif, wawancara struktural, wawancara secara kontras serta analisis terhadap keseluruhan data yang telah terkumpul.
Triangulasi
Data yang telah terkumpul akan diuji keabsahannya dengan teknik triangulasi data. Triangulasi dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mencari data yang mendukung dan tidak bertentangan dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan. Catatan yang begitu banyak dari hasil pengumpulan data selanjutnya akan diringkas, ditelusuri tema sentralnya, dikelompokkan dan di koding (kodifikasi).
Dalam penelitian ini, catatan lapangan yang dihasilkan dari dokumentasi dan wawancara kemudian diringkas. Kalimat-kalimat diringkas dan diidentifikasikan tema sentralnya yairu Respons Organisasi Masyarakat (Ormas) Islam Terhadap Fatwa MUI “Golput Haram”
Teknik Analisis Data
Sesuai dengan jenis dan sifat data yang diperoleh dari dari penelitian lapangan yang dipergunakan adalah tehnik descriptive-eksplorative. Dengan tehnik ini, maka data kualitatif yang diperoleh akan disortir (dipilah-pilah), dilakukan katagorisasi antara data yang sejenis untuk mendapat suatu formula analisa kesimpulan melalui tema pokok respon ormas-ormas Islam terhadap fatwa MUI “Golput Haram” yang selanjutnya didiskusikan melalui sharing pandangan untuk melahirkan kesimpulan dari masalah di atas.
DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi. 1996.Pergolakan Politik Islam. Jakarta: Paramadina.
Burhan Bungin, 2007. Sosiologi Komunikasi. Jakarta: Kencana.
Departemen Agama RI. 2003. Pengawasan dengan Pendekatan Agama. Jakarta: Departemen Agama RI
Eickelman, D. F, dkk. 1998. Ekspresi POlitik Muslim. Bandung: Mizan
Enha, S. Ilung. 2003. Sangkar Besi Agama, Tafsir Sang Kyai Versi MalinkundangYogyakarta: Alenia.
Fattah,Eep saefulloh. 1994. Masalah dan Prospek Demokrasi di Indonesia. Jakarta:Ghalia Indonesia.
Gaffar,Afan. 1992. Javanese Voters: A Case Study of Elections Under a Hegemonic Party System. Yogyakarta :Gajah Mada University Press.
__________. 2006. Politik Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Belajar
Karim, Salim. 1999. Negara dan Peminggiran Islam Politik. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya
Kuntowijoyo. 1997. Identitas Politik Umat Islam. Bandung: Mizan.
Laboratorium Ilmu Politik FISIP UI, 1997. Evaluasi Pemilu. Bandung: Mizan
Moleong, Lexy J. 1990. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosda Karya
Robert Bogdan & Steven J. Tylor. 1975. Introduction to Qualitative Methods Research, A Phenomenological Appoarch to Social Sciences. New York: John Willey & Son
Sanit,Arbi. 1985. Swadaya Politik Masyarakat, Jakarta: CV. Rajawali
Spradley. 1980. Partisipan Observation. New York: Holt Rineheat and Wintson
Young, Oran. 1968. System of Polical Analysis, Englewood, Cliffs. New Jersy: New Jersey University
1 Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi,(Jakarta: Kencana, 2007), h. 277.
3 Arbi Sanit, Swadaya Politik Masyarakat, (Jakarta: CV. Rajawali, 1985)
4 Oran Young, System of Polical Analysis, Englewood, Cliffs, (New Jersy: New Jersey University Press,1968)
5 Arbid Sani, Op cit. h. 37
6 Arbid Sani, Op cit. h. 40
7 Arbid Sani, Op cit. h. 41
8 Arbid Sani, Op cit. h. 44
9 Departemen Agama RI, Pengawasan dengan Pendekatan Agama, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2003), h. 1
10 www.mui.or.id
11 Afan Gaffar, Politik Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2006), h. 3-5.
12 Afan Gafar, Javanese Voters: A Case Study of Elections Under a Hegemonic Party System (Yogyakarta :Gajah Mada University Press, 1992).
13 Eep saefulloh Fattah, Masalah dan Prospek Demokrasi di Indonesia (Jakarta :Ghalia Indonesia, 1994), h.5-13
14 Laboratorium Ilmu Politik FISIP UI, Evaluasi Pemilu, (Bandung: Mizan, 1997), h. 14
15 Ibid. h. 33
16 Op cit. h. 19
17 Wilkipedia.com
18 Robert Bogdan & Steven J. Tylor, Introduction to Qualitative Methods Research, A Phenomenological Appoarch to Social Sciences (New York: John Willey & Son, 1975), h. 33
19 Lexy J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, ( Bandung : Remaja Rosda Karya, 1990), h. 6
20 Ibid h. 8
21 Spradley, Partisipan Observation, (New York: Holt Rineheat and Wintson, 1980), h. 34