Minggu, 28 Maret 2010

“Persepsi Remaja Terhadap Isu-Isu Terorisme di Media Massa”


  1. Judul Program

Judul penelitian yang akan diteliti adalah “Persepsi Remaja Terhadap Isu-Isu Terorisme di Media Massa” (Studi pada Siswa SMP dan SMA Sederajat di Kota Malang)”

  1. Latar Belakang Masalah

Belakangan ini berita terorisme menjadi headline pada setiap pemberitaan media massa. Kasus penangkapan para teroris tak luput dalam rekaman pemburu berita. Pasca peledakan Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton Pada 17 Juli 2009 oleh para teroris, berbagai media berlomba-lomba menghimpun dan menyajikan informasi terkait dengan peristiwa terorisme. Hampir seluruh stasiun televisi menyuguhkan berita-berita berbau terorisme.

Dewasa ini kebutuhan informasi memang dirasa semakin penting dalam kehidupan seseorang. Sekitar 90% dari kehidupan manusia digunakan untuk melakukan aktivitas mencari informasi. Seiring dengan perkembangan teknologi, media penyampaian informasipun semakin beragam, televisi salah satunya. Pemberitaan tentang terorisme yang seolah menjadi “hajatan pesta besar” bagi seluruh stasiun televisi membawa respon yang beragam dari konsumen media. Pengaruh tersebut berkaitan dengan pandangan masyarakat terhadap eksistensi teroris dan benturannya terhadap isu agama dan kewarganegaraan.

Media mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam pembentukan kognisi seseorang. Media memberikan informasi dan pengetahuan yang pada akhirnya dapat membentuk persepsi. Dan penelitian menunjukan bahwa persepsi mempengaruhi sikap (attitude) dan perilaku seseorang.

Kognisi adalah semua proses yang terjadi di fikiran kita yaitu, melihat, mengamati, mengingat, mempersepsikan sesuatu, membayangkan sesuatu, berfikir, menduga, menilai, mempertimbangkan dan memperkirakan.

Menurut survey yang dilakukan the Pew Research Center and the Pew Forum on Religion and Public Life, dalam 1 tahun terjadi peningkatan yang signifikan mengenai jumlah orang amerika yang memandang Islam sebagai agama yang memicu kekerasan. Survey dilaksanakan pada bulan Maret 2002 dan Juli 2003 dengan sample orang Amerika dewasa berjumlah 2.002 orang. Hasilnya menunjukan pada tahun 2002, 25% dari mereka mengatakan bahwa Islam adalah agama yang memicu kekerasan dan pada tahun 2003 prosentasi ini meningkat tajam menjadi 44%.

Banyak variable yang bisa dikatakan mempengaruhi peningkatan tersebut, dan faktor pengaruh media pasti ada didalamnya. Sejak peristiwa 9/11 sampai dengan saat ini, hampir setiap hari ada pemberitaan ataupun pembahasan mengenai teroris, dan selalu dikaitkan dengan Islam. Jadi sebuah konsekwensi logis jika dalam setahun (2002-2003) terjadi peningkatan yang tajam mengenai impresi Islam terkait dengan kekerasan dan terorisme.

Intensitas pemberitaan di media massa terutama televisi sekilas memunculkan berbagai pendapat tentang Terorisme. Pelaku Bom adalah Teroris, Profokator adalah Teroris, Laskar Jihad adalah Teroris, Pejuang Agama adalah Teroris, atau bahkan Agama yang kita anut dianggap sebagai Agama Teroris. Efek psikologis yang muncul dalam pemberitaan media massa terutama televisi itu kemudian menjadikan pemirsanya memiliki persepsi yang beragam. Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana pengaruhnya terhadap pembentukan persepsi remaja terhadap isu-isu terorisme di media massa dengan kondisi usianya yang sedang membutuhkan banyak informasi dalam pembentukan kepribadiaannya?

Praktik terorisme di Indonesia ternyata memasuki fenomena baru setelah identitas pengebom dan pembawa bom bunuh diri Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton di Jakarta ditemukan. Salah satunya adalah Dani Dwi Permana (18), batas usia anak menurut Konvensi Hak Anak. Dani Dwi Permana (18) yang disebut sebagai tersangka pelaku pengeboman JW Marriott adalah remaja yang selama ini tinggal di RT 07 dan sehari-harinya bergaul dengan teman-teman remaja lain di perumahan itu (Antara News edisi 10 Agustus 2009). Apa sebenarnya yang terjadi pada remaja Indonesia?

Kita juga telah dikejutkan saat mengetahui pelaku bom bunuh diri di Hotel JW Marriott, Jakarta, bulan Juli lalu adalah remaja yang dalam kesehariannya bukan tergolong kelompok sangar. Mereka justru sering dikenal sebagai remaja yang baik dan khusyuk (Kompas, Kamis 10 September 2009).

Kermbali lagi, dua buronan teroris, Syaifuddin Zuhri dan Mohammad Syahrir, tewas dalam penyergapan tim satuan tugas antiteror Mabes Polri di rumah kos di Ciputat Timur, Tangerang Selatan, Banten, Jumat (9/10) siang. Penyergapan tersebut berlangsung sekitar lima menit. Kedua kakak beradik itu sempat melawan saat hendak disergap. Zuhri bahkan melemparkan tiga bom tangan (Kompas, Sabtu, 10 Oktober 2009).

Masa remaja adalah masa transisi dari periode anak-anak menuju dewasa. G. Stanley Hall, menjelaskan bahwa remaja berada pada masa badai topan (Strum and drung), mencerminkan kebudayaan modern yang penuh dengan gejolak akibat pertentangan nilai. Menurut Erik Erikson, ciri khas remaja adalah belum memilki identitas yang jelas dan sedang mengalami krisis identitas. Oleh karena itu mereka membutuhkan sarana ekspresi diri dan penerimaan dari lingkungan. Kemudian mereka meretas jalan yang lebih realistis. Namun, tidak sedikit remaja yang kebingungan untuk menemukan cara.

Menurut Erikson dalam Mönk (2002:279) pada masa usia remaja, mereka berusaha melepaskan diri dari orang tua dengan maksud untuk menemukan dirinya dan proses itu disebut sebagai proses mencari identitas ego. Marcia (1980) dalam Mönk (2002:279) berpendapat bahwa perkembangan identitas itu terjadi selain dari mencari secara aktif (eksplorasi) juga tergantung daripada adanya “commitments”. Dalam proses perkembangan identitas maka seseorang dapat berada dalam status yang berbeda-beda. Oleh karena itu segala informasi yang diperoleh oleh remaja akan memungkinkan untuk mempengaruhi persepsinya terhadap dunia luar.

Media massa sebagai sarana komunikasi telah menyentuh hampir semua aspek kehidupan kita sehari-hari. Melalui media massa kita mengetahui hampir segala sesuatu yang kita tahu tentang dunia di luar lingkungan dekat kita. Media massa sesekali dapat menjadi sumber hiburan, sumber informasi, namun juga sebagai forum persuasi. Orang-orang membentuk opini dari informasi dan interpretasi atas informasi yang mereka terima. Ini berarti bahwa bahkan liputan berita sekalipun mengandung unsur persuasi. Akan tetapi, upaya media untuk melakukan persuasi biasanya dilakukan melalaui editorial (tajuk rencana) dan ulasan atau komentar-komentar yang jelas-jelas bertujuan persuasi. Hampir semua media memisahkan antara materi yang didesain untuk membujuk dengan materi berita . Koran mengemas artikel opininya dalam bagian editorial. Ulasan di televisi biasanya berisi opini.

Menurut Teori Peluru, media menyajikan stimuli perkasa yang secara seragam diperhatikan oleh massa. Stimuli ini membangkitkan desakan, emosi atau proses lain yang hampir tidak terkontrol oleh individu. Teori ini mengasumsikan massa yang tidak berdaya ditembaki oleh stimuli media massa yang menanalogikan pesan komunikasi seperti menyebut obat yang disuntikan dengan jarum ke bawah kulit pasien. Hal ini akan memungkinkan bagaimana sebuah persepsi terbentuk. Remaja sebagai sebuah pribadi akan sangat berbeda antara satu dengan yang lain. Dalam perkembangnnya, remaja sangat dipengaruhi oleh banyak hal sebagai proses pencarian identitas dirinya. Sedangkan lingkungan sebagai sebuah tempat dimana mereka bergaul maka tidak dapat dielakkan bahwa keduanya memiliki hubungan yang erat.

Senada dengan teori Belajar Sosial yang dikemukakan oleh Albert Bandura menjelaskan bahwa peran lingkungan sangat penting dalam perkembangan remaja. Remaja memerlukan model untuk ditiru atau berimitasi pada model yang dipilih. Selain itu kemampuan kognitif remaja memberikan kontribusi yang besar dalam merespon lingkungan. Hal ini sangat erat terkait dengan pembentukan persepsi pada remaja terhadap isu-isu terorisme yang muncul di media massa terutama televisi. Di dalam pemberitaan terorisme memunculkan berbagai tokoh termasuk tersangka baik yang masih hidup maupun yang telah terlibat bom bunuh diri.

Dari latar belakang tersebut di atas, maka diperlukan penelitian lebih lanjut dengan judul “Persepsi Remaja Terhadap Isu-Isu Terorisme di Media Massa” (Studi pada siswa SMP dan SMA Sederajat di kota Malang).

  1. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas maka penelitian ini diajukan untuk menjawab beberapa rumusan masalah, yaitu sebagai berikut:

  1. Bagaimana tingkat persepsi remaja terhadap isu-isu terorisme di media massa?

  2. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi persepsi remaja terhadap isu-isu terorisme di media massa?

  1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan analisis rumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah:

  1. Untuk mengetahui bagaimana tingkat persepsi remaja terhadap isu-isu terorisme di media massa

  2. Untuk mengetahui faktor-faktor apakah yang mempengaruhi persepsi remaja terhadap isu-isu terorisme di media massa

  1. Luaran yang Diharapkan

Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) merupakan salah satu bentuk upaya yang ditempuh oleh Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (DP2M) dan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi dalam meningkatkan kualitas peserta didik (mahasiswa) di perguruan tinggi agar kelak dapat menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademis dan atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan atau kesenian serta memperkaya budaya nasional.

Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) dikembangkan untuk mengantarkan mahasiswa mencapai taraf pencerahan kreativitas dan inovasi berlandaskan penguasaan sains dan teknologi serta keimanan yang baik (Depdiknas 2009). Proposal penelitian ini termasuk ke dalam kegiatan Program Kreativitas Mahasiswa Penelitian (PKMP) dan termasuk dalam bidang kesehatan (Psikologi). Program Kreativitas Mahasiswa Penelitian (PKMP) merupakan kreativitas yang inovatif dalam menemukan hasil karya melalui penelitian pada bidang profesi masing-masing (Depdiknas 2009).

Keluaran dari program penelitian ini adalah (1) Diharapkan dapat menjadi bahan acuan dalam proses pendidikan remaja (2) Diharapkan dapat menjadi bahan acuan dalam proses pembentukan kepribadian remaja(3) Diharapkan dapat memberikan informasi bagi seluruh pihak yang berhubungan dengan anak atau remaja, baik lingkungan keluarga, sekolah, pemerintah maupun masyarakat secara umum.

  1. Kegunaan Program

  1. Aspek akademik: Memberikan sumbangan pengetahuan dalam keilmuan psikologi terutama bidang psikologi perkembangan remaja dan psikologi sosial.

  2. Aspek Praktis: Hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran, saran serta tindakan yang berarti mengenai tingkat persepsi yang muncul pada siswa-siswi SMP dan SMA sederajat di kota Malang sebagai upaya preventif dan kuratif.

  1. Kajian Pustaka

  1. Persepsi

Persepsi (perception) merupakan tahap paling awal dari serangkaian pemroses informasi. Persepsi adalah suatu proses penggunaan pengetahuan yang telah dimiliki (yang disimpan di dalam ingatan) untuk mendeteksi atau memperoleh dan menginterpretasikan stimulus (rangsangan) yang diterima oleh alat indera seperti mata, telinga, dan hidung (Martin, 1989; Solso 1988 dalam Suharnan: hlm.23)

Persepsi mencakup dua proses yang berlangsung secara serempak antara keterlibatan aspek-aspek dunia luar (stimulus-informasi) dengan dunia di dalam diri seseorang ( pengetahuan yang relefan dan telah tersimpan di dalam ingatan). Dua proses dalam persepsi itu di sebut bottom-up atau data driven processing (aspek stimulus), dan top-down atau conceptually driven processing (aspek pengetahuan sosial).

Hasil persepsi seseorang mengenai sesuatu objek di samping dipengaruhi oleh penampilan objek itu sendiri, juga pengetahuan seseorang mengenai objek itu. Dengan demikian, suatu objek dapat dipersepsikan berbeda oleh dua orang akibat perbedaan pengetahuan yang dimiliki masing-masing orang mengenai objek itu.

Ada tiga aspek di dalam persepsi yang dianggap sangat relefan dengan kognisi manusia, yaitu: pencatatan indera, pengenalan pola, dan perhatian.

  1. Pencatatan indera (sensory register)

Disebut juga ingatan sensori. Pencatatan indera menangkap informasi dalam bentuk masih kasar, belum diproses sama sekali dan masih dalam prakategorik untuk waktu yang sangat pendek sesudah stimulus fisik dihadirkan (diterima).

Pencatatan indera merupakan sistem ingatan yang dirancang untuk menyimpan sebuah rekaman (record) mengenai informasi yang diterima oleh sel-sel reseptor. Sel-sel reseptor merupakan sistem yang terdapat pada alat indera organ tubuh tertentu yaitu mata, telinga, hidung, lidah dan kulit tubuh yang merespon energi fisik dari lingkungan (Ellis dan Hunt, 1993). Rekaman stimulus yang disimpan itu disebut sebagai sensory trace.

Ada tiga karakteristik pencatatan indera yang memungkinkan sistem melakukan fungsi penyimpanan rekaman secara optimal. (1) informasi di simpan dalam bentuk yang masih kasar (veridical form) dan belum memiliki makna. Dengan begitu seharusnya informasi dapat merefleksikan secara akurat apa yang telah terjadi pada reseptor indera. (2) pencatatan indera memerlukan ukuran ruang yang cukup untuk menyimpan informasi yang ditangkap oleh reseptor. (3) informasi yang masuk ke dalam sistem pencatat indera berlangsung dalam waktu yang sangat singkat.

Berdasarkan hasil penelitian Sperling (dalam Matlin, 1989) dapat disimpulkan bahwa pencatatan indera belangsung 1/1000 detik seperti orang mengedipkan mata. Sementara, jumlah objek yang dapat dicatat atau direkam oleh alat indera manusia hampir mendekati 9 buah atau item.

  1. Pengenalan pola

Proses pengenalan pola merupakan proses transformasi dan mengorganisasikan informasi yang masih kasar itu, sehingga memiliki makna tertentu. Dengan demikian pengenalan pola merupakan proses mengidentifikasi stimulus indera yang tersusun secara rumit. Pengenalan pola melibatkan proses membandingkan stimulus indera dengan informasi yang disimpan di dalam ingatan jangka panjang.

Teori pengenalan pola antara lain adalah template-matching theory, prototype theory, distinctive feature theory, template-matching dan gestalt theory.

  1. Perhatian

Perhatian (attention) adalah proses konsentrasi pikiran atau pemusatan aktivitas mental (attention is a concentration of mental activity).

Menurut teori filter atau penyaringan beranggapan bahwa di dalam perhatian terjadi proses seleksi atau memilih aspek-aspek tertentu dari stimulus atau informasi. Sebab manusia memiliki keterbatasan kemampuan untuk dapat memproses sejumlah informasi dalam waktu yang bersamaan.

Menurut teori kapasitas (capacity theory) berasumsi bahwa sumber-sumber kapasitas kognitif itu terbatas. Seseorang memiliki jumlah kapasitas kognitif tertentu yang dapat digunakan melakukan berbagai tugas yang sedang dihadapi.

Fenomena lain di dalam persepsi

  • Persepsi bawah sadar (subliminal perception), yaitu persepsi terhadap suatu objek dapat terjadi tanpa disengaja atau disadari oleh seseorang. Biasanya persepsi tersebut tertuju pada objek, gambar, atau kata-kata yang ditampilkan di dalam waktu yang relatif singkat dalam rangkaian peristiwa (sekuler dan blake, 1990).

  • Persepsi sublimasi terjadi apabila stimulus yang tampaknya tidak diperhatikan atau tanpa disadari keberadaannya oleh seseorang namun secara diam-diam stimulus itu mempengaruhi perilaku orang yang bersangkutan dikemudian hari. Misal pesan-pesan dalam promosi sebuah produk di TV atau majalah yang dikemas sedemikian rupa sehingga pemirsa diharapkan tertarik untuk membeli. Orang tidak akan mempersepsikan produk yang dimaksud untuk membeli, tapi lebih dari itu tanpa disadari orang itu dapat mempersepsikan objek yang menjadi latar belakang atau yang disertakan dalam promosi itu, kemudian secara diam-diam mempengaruhi prilakunya. Hal ini disebabkan karena makna tidak dengan sendirinya dapat diambil oleh pemirsa dari penyajian pesan yang tidak disampaikan secara langsung. Akan tetapi stimulus pengganti itu dapat menyentuh aspek emosional mereka, sehingga dianggap lebih efektif.

Ilusi atau kesalahan persepsi

Kesalahan persepsi (error of perception) biasanya disebut ilusi (illusion). Kesalahan persepsi terjadi ketika seseorang mempersepsikan suatu objek secara tidak tepat atau tidak sesuai dengan keadaan yang semestinya (realitas objektif). (Suharnan: hlm. 51)

  1. Terorisme

      1. Pengetian Terorisme.

Kata teror berasal dari bahasa latin terrere yang kurang lebih diartikan sebagai kegiatan atau tindakan yang dapat membuat pihak lain ketakutan (Ezza A Fattah, 1997). Dimasa revolusi Perancis, sekitar tahun 1794, juga dikenal kata le terreur. Kata ini digunakan untuk menyebutkan tindakan kekerasan yang dilakukan rezim hasil revolusi Perancis terjadap para pembangkang yang diposisikan sebagai musuh negara.

Selebihnya, terjadi silang pendapat pendefinisian terorisme hinga saat ini. Hal ini karena permasalahan yang menyertai tindakan terorisme terlalu kompleks dan beraneka ragam. Walter Laqueur (1999) mengkaji setidaknya ada seratus definisi yang dilontarkan oleh berbagai kalangan. Tetapi kemudian dia menyimpulkan beberapa ciri utama yang signifikan dari definisi itu. Ciri utamanya tersebut adalah digunakannya ancaman kekerasan dan tindak kekerasan. Selain itu, terorisme umum didorong oleh motivasi politik, dan dapat juga kerena fanatisme agama.

Dalam konteks Indonesia, bisa saja gerakan-gerakan perlawanan yang menuntut kemerdekaan di Aceh dan Papua dianggap sebagai terorisme. Misalnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Operasi Papua Merdeka (OPM), atau Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia. Berbagai gerakan perlawanan tersebut memakai kategorisasi Laqueur yaitu menggunakan ancaman kekerasan dan tindak kekerasan.

Mengingat sulitnya mendefinisikan terorisme dalam konteks hubungan internasional, maka kegiatan terorisme hanya dapat didekati dari kesepakatan atas beberapa ciri-ciri utamanya. Amalya (2002) menguraikan ciri utama dari terorisme dalam sejumlah kategori.

  • Pertama, penggunaan ancaman kekerasan dengan tindakan kekerasan dengan tujuan tertentu secara sistematis, atau tindakan perorangan maupun kampanye kekerasan yang dirancang untuk menciptakan ketakutan.

  • Kedua, menggunakan ancaman kekerasan atau melakukan kekerasan tanpa pandang bulu, baik terhadap musuh atau sekutu, untuk mencapai tujuan politik.

  • Ketiga, sengaja bertujuan menciptakan dampak psikologis terhadap korban tertentu dalam rangka merubah sikap dan perilaku politik sesuai dengan maksud dan tujuan pelaku teror.

  • Keempat, meliputi kaum revolusioner, ekstrimis politik, penjahat yang bertujuan politik, dan para lunatik sejati.

  • Kelima, pelakunya dapat beroperasi sendiri atau terorganisir dalam kelompok, bahkan pemerintah tertentu.

  • Keenam, motifnya dapat bersifat pribadi, atau destruksi atas pemerintahan, atau kekuatan kelompok. Sedangkan ambisinya dapat terbatas lokal, seperti penggulingan rezim tertentu, dan global seperti revolusi yang simultan di berbagai dunia.

  • Ketujuh, modusnya dapat berupa penculikan untuk mendapatkan tebusan, pembajakan atau pembunuhan kejam yang mungkin tidak dikehendaki para pelakunya. Teroris dapat atau tidak mengharapkan terbunuhnya korban, namun mereka seringkali menemukan saat untuk membunuh guna memperkuat kredibilitas ancaman , walaupun tidak diinginkan untuk membunuh korban.

  • Kedelapan, aksi-aksinya dirancang untuk mendapat perhatian dunia atas eksistensinya, sehingga korban dan targetnya dapat saja tidak berkaitan sama sekali dengan para pelakunya.

  • Kesembilan, aksi-aksi teror dilakukan karena motivasi secara politik, atau karena keyakinan kebenaran yang melatarbelakanginya, sehingga cara-cara kekerasan ditempuh untuk mencapai tujuan. Dengan demikian, aksi-aksi teror pada dasarnya terkategori sebagai tindakan kriminal, illegal, meresahkan masyarakat, dan tidak manusiawi.

  • Kesepuluh, kegiatan terorisme ditujukan pada suatu pemerintahan, kelompok, klas, atau partai politik tertentu, dengan tujuan untuk membuat kekacauan di bidang politik, ekonomi dan sosial.

      1. Tipologi dan karakteristik terorisme

Secara kategoris, gerakan terorisme dilihat dari aspek spiritnya, dapat dibedakan dalam beberapa kategori. Pertama, semangat nasionalisme. Pejuang kemerdekaan, umumnya menggunakan kekerasan politik untuk melawan rezim penjajah. Memang, kekerasan politik tidak selalu identik dengan terorisme. Kekerasan politik dalam artian kerusuhan massal, perang saudara, revolusi, atau perang antar bangsa, tidak termasuk dalam kategori terorisme. Namun terorisme sering mengiringi intrik kekerasan politik yang terjadi. Semangat perjuangan sering dicap sebagai teroris oleh rezim penjajah. Hal ini terjadi misalnya di al-Jazair, Palestina, dan sejumlah negara jajahan lainnya.

Kedua, semangat separatisme. Kelompok separatisme secara stereotipe juga menempatkan kekerasan politik sebagai model perjuangan bersenjata. Kekerasan politik dipilih oleh kaum separatis cenderung di klaim oleh opini dunia sebagai terorisme. Pembenaran opini dunia itu cukup logis, mengingat kekerasan politik yang dieksploitasi gerakan separatis selalu memenuhi premis dasar terorisme, yaitu menggunakan ancaman kekerasan dan tindakan kekerasan, sehingga menimbulkan keresahan banyak kalangan.

Ketiga, semangat radikalisme Islam, atau lebih luasnya radikalisme agama. Kelompok-kelompok agama pun ditengarai menggunakan metode teror untuk memperjuangkan kepentingannya. Kekerasan politik dalam bentuk teror sering kali dijadikan alat untuk mencapapi tujuan agama. Misalnya kelompok radikal Islam bernama Jihad Islam di Mesir, Jihad Islam di Yaman, National Islamic Front di Sudan, Al-Qaedah yang bermarkas di Afganistan, Jamaah Islamiyah di Malaysia, atau juga kelompok yahudi bernama Haredi, Gush Emunim, Kach Kahane yang ada di Israel.

Keempat, gerakan terorisme yang didorong oleh spirit bisnis. Narcoterorisme di Myanmar yang dikenal dengan sebutan United War State Army adalah kelompok terorisme yang berlatarbelakang perdagangan narkotika dan obat-obatan terlarang. Di Jepang juga dikenal nama Yakuza, yaitu organisasi kalangan dunia hitam yang menggunakan metode teror sebagai alat untuk mencapai tujuan. Terorisme dengan motif ekonomi ditandai dengan bentuk-bentuk kekerasan yang menimbulkan ketakutan masyarakat luas, untuk mencari keuntungan material sebesar-besarnya.

Selanjutnya terdapat beberapa tipe terosisme. Yang pertama adalah political terrorism. Suatu bentuk terorisme yang dirancang untuk menimbulkan ketakutan di masyarakat dengan tujuan politik. Secara umum, semua bentuk terorisme bermotif politik, karena isu politik sangat sensitif dan mudah sekali ditemukan di berbagai negara, khusunya pada masa-masa pemilu. Yang kedua adalah nonpolitical terrorism. Yaitu terorisme yang dilakukan diluar motif politik, misalnya motif balas dendam pribadi yang dilakukan oleh perseorangan atau kelompok. Terorisme model ini juga mewadahi motif kegilaan. Fenomena terorisme dengan motif kegilaan terlihat pada sosok teroris legendaris Carlos. Carlos yang dijuluki sebagai “sang teroris” Merajalela melakukan aksi-aksi terror di tahun 70-an. Aksi-aksinya di berbagai dunia menunjukkan kegilaannya untuk melakukan kekerasan dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

  1. Remaja

  1. Masa remaja dan perkembangannya

Dalam perkembangan kepribadian seseorang, maka masa remaja mempunyai arti yang khusus, namun masa remaja berada pada tempat yang tidak jelas dalam rangkaian perkembangan manusia. Ini bisa kita bedakan dengan membandingkan antara masa anak dan masa dewasa. Masa anak bisa diartikan sebagai masa perkembangan yang belum matang, dan orang dewasa bisa dianggap telah berkembang penuh. Orang dewasa telah menguasai fungsi-fungsi fisik dan psikis. Pembadingan tersebut juga menjelaskan ketidak jelasan masa remaja dalam proses perkembangan manusia.

Remaja tidak termasuk golongan anak dan tidak juga golongan dewasa. Remaja masih belum mampu menguasai fungsi-fungsi fisik maupun psikis. Oleh karena itu, ia harus segera menemukan tempat di masyarakat dan mematenkan identitasnya dengan pencarian. Pada umumnya mereka masih duduk di bangku sekolah dan perguruan tinggi, kalaupun telah bekerja maka pekerjaan itu menjadi pekerjaan sambilan.

Menurut Lewin (1939) dalam Mönk (2004: hlm. 260), remaja berada dalam tempat marginal. Dikarenakan ada syarat-syarat tertentu untuk bisa dikatakan dewasa, maka remaja lebih mudah dikategorikan sebagai anak-anak. Baru pada abad-18, masa remaja dipandang sebagai sauatu periode tertentu yang lepas dari masa anak-anak. Meskipiun begitu, kedudukan remaja berbeda dari anak-anak. Masa remaja menunjukkan dengan jelas masa transisi dan atau peralihan (Calon:1953 dalam Mönk: 2004) karena remaja belum memperoleh status dewasa dan juga tidak lagi sebagai anak-anak.

Ausabel (1965) dalam Mönk (2004: hlm. 260) menyebutkan bahwa remaja berada dalam status interim sebagai akibat dari posisi yang sebagian diberikan dari orang tua dan sebagian diperoleh dari usahanya sendiriyang selanjutnya memerikan prestise tersendiri dalam perjalanan hidupnya ke depan. Status interim berhubungan dengan masa peralihan yang timbul sesudah pemasakan seksual (pubertas). Masa peralihan tersebut diperlukan untuk mempelajari remaja untuk mampu memikul tanggung jawab pada masa dewasa nanti. Makin maju masyaraktnya, makin sukar tugas perkembangan remaja untuk memikul tanggung jawab ini.

Menurut Havighurst (1976) dalam Mönk (2004: hlm. 260), ada beberapa tugas perkembangan pada masa remaja yang bersumber dari beberapa penelitian lintas budaya yang dilakukannya. Tugas perkembangan pada usia 12-18 tahun antara lain:

  • Perkembangan aspek-aspek biologis

  • Menerima peranan dewasa berdasarkan pengaruh kebiasaan masyarakat sekitar

  • Mendapatkan kebebasan emosional dari orang tua, dan atau orang dewasa lainnya

  • Mendapatkan pandangan hidup sendiri

  • Merealisasikan suatu identitas sendiri dan dapat mengadakan partisipasi dalam kebudayaan pemuda sendiri.

  1. Fase-fase masa remaja

Dorongan untuk berdiri sendiri dan krisis originalitas

Dalam perkembangan remaja, terjadi dua macam gerak, yaitu gerak memisah diri dari orang tua dan gerak menuju-teman-temannya. Dua macam gerak itu bukan merupakan dua hal yang beruntutan, meskipun terkadang terdapat hubungan satu dengan yang lain. Misalnya jika terjadi gerak pertama tanpa adanya gerak ke dua akan menimbulkan kesepian remaja. Dalam hal ekstrim seperti ini, remaja bisa melakukan usaha bunuh diri. Juga kualitas kelekatan hubungan dengan orang tua memegang peranan penting. Sikap lekat orang tua terhadap anak sangat menentukan. Lekatnya yang tidak aman (insecure attachment) bila terjadi persamaan dengan kemandirian akan menibulkan perhatian yang berlebihan pada kepentingan sendiri, sedangkan kelekatan yang tidak aman bersamaan dengan ketergantungan menimbulkan orientasi konformistis atau isolasi penuh kecemasan. Dua macam gerak tersebut merupakan reaksi terhadap status interim anak muda. Sesudah pubertas, timbul suatu diskrepasi yang besar antara kedewasaan jasmaniah dengan ikatan sosial pada dunia orang tua.

Melepaskan hubungan dengan orang tua atau usaha untuk berdiri sendiri ini juga sudah dijumpai pada masa sebelum masa remaja, meskipun belum terlalu tandas dan sebagian terjadi secara tidak sadar. Menurut Maccoby (1984) dalam Mönk (2004), maka sistem hubungan orang tua dengan anak dalam keluarga (Smits, 1985) berubah dari regulasi oleh orang tua yang terjadi antara usia 8-12 tahun menjadi coregulasi (menentukan bersama), dimana orang tua makin memberikan kebebasan menentukan sendiri pada anak dalam situasi regulasi diri (self regulation).

Dalam masa remaja usaha utuk melepaskan diri dari orang tua adalah usaha untuk menemukan diri sendiri. Menurut Erikson, proses tersebut disebut sebagai proses mencari identitas ego. Sudah barang tentu pembentukan identitas, yaitu perkembangan kepribadian ke arah yang mantap, merupakan aspek yang sangat penting bagi usaha untuk berdiri sendiri. Kita tidak tenggelam dalam peran yang kita mainkan, misalnya sebagai seorang anak, teman, pelajar, pembimbing, dan sebagainya, tetapi dalam hal-hal tersebut tetap menghayati sebagai pribadi dirinya sendiri, adalah suatu pengalaman yang harus dimiliki oleh remaja dala perkembangannya yang sehat.

  1. Media Massa

Penyiaran pada hakikatnya adalah salah satu keterampilan dasar manusia ketika berada pada posisi tidak mampu untuk menciptakan dan menggunakan pesan secara efektif untuk berkomunikasi. Penyiaran dalam konteks ini adalah alat untuk mendongkrak kapasitas dan efektivitas komunikasi massa.

Dalam teori media dan masyarakat (lihat Barran & Davis, 2000: 48) misalnya dikatakan bahwa media memiliki sejumlah asumsi untuk membentuk masyarakat, yakni:

  • Media massa (tak terkecuali penyiaran) memiliki efek yang berbahaya sekaligus menular bagi masyarakat. untuk meminimalisir efek ini di Eropa pada masa 1920-an, penyiaran dikendalikan oleh pemerintah, walaupun ternyata kebijakan ini justru berdampak buruk di Jerman dengan digunakannya penyiaran untuk propaganda Nazi.

  • Media massa memiliki kekuatan untuk mempengaruhi pola pikir rata-rata audiennya. Bahkan pada asumsi berikutnya dalam teori ini dikatakan bahwa ketika pola pikir seseorang sudah terpengaruh oleh media, maka semakin lama pengaruh tersebut semakin besar.

  • Rata-rata orang yang terpengaruh oleh media, dikarenakan ia mengalami keterputusan dengan institusi sosial yang sebelumnya justru melindungi dari efek negatif media. Relevan dengan hal tersebut John Dewey, seorang pemikir pendidikan, misalnya pernah berkata bahwa efek negatif media dapat disaring melalui pendidikan.

Teori peluru (bullet theory) adalah nama yang diberikan oleh para peneliti berikutnya pada salah satu gagasan pertama dari dampak komunikasi massa. Teori ini juga disebut sebagai teori jarum suntik (hypodermic needle theory) atau teori sabuk transmisi (transmission belt theory) (DeFleur dan Ball Rokeach, 1982/262) dalam Werner hlm. 314. Pandangan yang pada dasarnya naif dan sederhana ini memprediksikan dampak pesan-pesan komunikasi massa yang kuat dan kurang lebih universal pada semua anggota audiensi yang kebetulan terekspos pada pesan-pesan tersebut.

Namun “teori peluru” tampaknya tidak digunakan oleh para pemikir dampak komunikasi massa sebelumnya (Chaffee dan Hochheimer, 1985) dalam Werner hlm. 314. Meskipun demikian, ungkapan itu adalah gambaran yang bagus untuk pandangan yang tampaknya dipercaya secara luas. Pandangan ini dipengaruhi oleh kekuatan yang tampaknya dimiliki propaganda dalam perang dunia I. Pandangan ini populer dalam tahun-tahun sebelum perang dunia II, ketika banyak orang mempunyai ketakutan yang sama bahwa penghasut gaya Hitler mungkin mengembangkan kekuasaan di Amerika Serikat melalui kekuatan komunikasi massa. Lembaga untuk analisis propaganda diciptakan sebagai tanggapan atas ketakutan ini, dan lembaga ini memulai kampanye secara besar-besaran mendidik masyarakat Amerika mengenai teknik-teknik propaganda.

  1. Metode Pelaksanaan Program

  1. Definisi Operasional

Supaya penelitian ini terarah dan tidak terjadi penyalahartian judul maka istilah-istilah yang digunakan dalam judul penelitian ini diberikan definisi operasional sehingga akan jelas ruang lingkupnya.

  1. Persepsi

Persepsi adalah suatu proses penggunaan pengetahuan yang telah dimiliki (yang disimpan di dalam ingatan) untuk mendeteksi atau memperoleh dan menginterpretasikan stimulus (rangsangan) yang diterima oleh alat indera seperti mata, telinga, dan hidung.

  1. Remaja

Remaja adalah seseorang pada rentang usia 12-21 tahun, dengan pembagian 12-15 tahun; masa remaja awal, 15-18 tahun; masa remaja pertengahan, 18-21 tahun; masa remaja akhir.

  1. Terorisme

Terorisme adalah penggunaan kekerasan dalam mencapai tujuan terutama tujuan politik. Caranya menyebarkan rasa takut dan tindakan kriminal.

  1. Media massa

Media massa adalah sarana dan saluran resmi sebagai penyebaran berita dan pesan kepada masyarakat luas (radio, surat kabar, majalah, dll) atau merupakan organisasi kompleks yang mencakup manusia, fasilitas material dan sarana teknologi. Sedangkan dalam penelitian ini, Peneliti membatasi pada media massa secara khusus merujuk pada televise.

Televisi adalah sistem penyiaran gambar objek yang bergerak yang disertai dengan suara, melalui kabel atau melalui satelit; menggunakan alat yang mengubah gambar dan bunyi menjadi gelombang listrik dan mengubahnya kembali menjadi berkas cahaya yang dapat dilihat dan bunyi yang dapat didengar pada tabung kaca. Penentuan media massa berupa televisi ini didasarkan pada pertimbangan bahwa televise merupakan media yang dapat menyampaikan berita dalam bentuk audio dan visual sehingga menjadikan lebih menarik untuk kalangan remaja.

  1. Model Penelitian

Pada penelitian ini metode atau pendekatan yang digunakan adalah kuantitatif dengan format deskriptif. Penelitian kuantitatif dengan format deskriptif bertujuan untuk menjelaskan, meringkaskan berbagai kondisi, berbagai situasi, atau berbagai variabel yang timbul di masyarakat yang menjadi objek penelitian itu berdasarkan apa yang terjadi.1

  1. Populasi dan Sampel

Populasi merupakan keseluruhan objek atau subjek sumber informasi yang diteliti. Populasi dapat berupa orang, benda, tumbuhan, peristiwa, dan gejala yang memiliki ciri-ciri tertentu dan jelas (Wiyono 2004). Penelitian ini melibatkan sumber data (populasi) yang berasal dari siswa SMP dan SMA sederajat di Kota Malang.

Sampel merupakan sebagian atau wakil populasi yang diteliti. Berdasarkan pengertian tersebut maka sampel sebagai suatu bagian populasi yang dianggap mewakili data yang akan diteliti (Arikunto 1998). Dinamika penelitian sampel adalah menggeneralisasikan hasil penelitian terhadap populasi. Yang dimaksud dengan mengeneralisasikan adalah mengangkat kesimpulan penelitian sebagai sesuatu yang berlaku bagi populasi. Adapun jumlah populasi siswa SMA SMP dan SMA sederajat se-Kota Malang terdapat pada Tabel 1.

Tabel 1 Jumlah Populasi Siswa SMA Negeri se-Kota Malang

No

Jenjang Sekolah

Ket.

Jumlah Siswa

Jumlah sekolah

Negeri

Swasta


MTs

Depag

3.285 orang

24 sekolah

2 sekolah

22 sekolah


SMP

Diknas

25.845 orang

103 sekolah

30 sekolah

73 sekolah


SMA

Diknas

10.396 orang

56 sekolah

12 sekolah

44 sekolah


MA

Depag

1.661 orang

13 sekolah

2 sekolah

11 sekolah


SMK

Diknas

18.694 orang

49 sekolah

12 sekolah

37 sekolah

Jumlah

59.881 orang

245 sekolah

58 sekolah

187 sekolah

Sumber: Basis Data Bidang Pendidikan Pemkot Malang Tahun 2009 (http://www.pemkot-malang.go.id)


Jika dilihat populasi yang berasal dari jumlah sekolah berjumlah 245 sekolah, Peneliti mengambil sampel proporsional dari jumlah sekolah. Sekolah yang akan diambil sebagai sampel dianggap dapat mewakili populasi penelitian ditinjau dari jenjang dan jenis sekolahnya; yakni MTs, SMP, SMA, MA, dan SMK. Penentuan jumlah sampel dengan menggunakan Tabel Krejcie dan Morgan. Adapun Tabel Krejcie dan Morgan seperti pada Tabel 2.


Tabel 2 Tabel Krejcie dan Morgan

N

S

N

S

N

S

N

S

N

S

10

10

100

80

280

162

800

260

2800

338

15

14

110

86

290

165

850

265

3000

341

20

19

120

92

300

169

900

269

3500

346

N

S

N

S

N

S

N

S

N

S

25

24

130

97

320

175

950

274

4000

351

30

28

140

103

340

181

1000

278

4500

354

35

32

150

106

360

186

1100

285

5000

357

40

36

160

113

380

191

1200

291

6000

361

45

40

170

116

400

196

1300

297

7000

364

50

44

180

123

420

201

1400

302

8000

367

55

48

190

127

440

205

1500

306

9000

368

60

52

200

132

460

210

1600

310

10000

370

65

56

210

136

480

214

1700

313

15000

375

70

59

220

140

500

217

1800

317

20000

377

75

63

230

144

550

226

1900

320

35000

379

80

66

240

148

600

234

2000

322

40000

380

85

70

250

152

650

242

2200

327

50000

381

90

73

260

155

700

246

2400

331

75000

382

95

76

270

159

750

254

2600

335

100000

384


Sumber: Setyadin (2005:19)


Berpedoman pada Tabel Krejcie dan Morgan jika sampel yang diambil lima jenjang sekolah dengan populasi 59.881 orang maka jumlah sampel penelitian berjumlah 1790 responden. Penentuan jumlah sampel tiap sekolah dengan menggunakan rumus sebagai berikut.

Keterangan:

ni = Jumlah sampel persekolah,

Ni = Jumlah populasi persekolah,

N = Jumlah populasi keseluruhan,

S = Jumlah sampel yang diambil sesuai dengan tabel Krejcie dan Morgan

(Riduwan dan Kuncoro, 2007:52).

Berpedoman pada rumus penentuan jumlah sampel maka sampel penelitian persekolah seperti pada Tabel 3.

Tabel 3 Jumlah Sampel Penelitian

No

Jenjang sekolah

Jumlah sekolah

Jumlah Siswa

Jumlah Sampel Krejie

Jumlah Sampel Tiap sekolah


Mts

24 sekolah

3.285 orang

346 orang

19 sekolah


SMP

103 sekolah

25.845 orang

379 orang

164 sekolah


SMA

56 sekolah

10.396 orang

375 orang

66 sekolah


MA

13 sekolah

1.661 orang

313 orang

9 sekolah


SMK

49 sekolah

18.694 orang

377 orang

118 sekolah

Jumlah

245 sekolah

59.881 orang

1790 orang

376 sekolah


    1. = 18,9 = 19 sekolah

    2. = 163,5 = 164 sekolah

    3. = 65,1 = 66 sekolah

    4. = 8,6 = 9 sekolah

    5. = 117,6 = 118 sekolah

Sampel dilakukan secara proporsional, yakni:













Sekolah yang akan diambil sebagai populasi dianggap dapat mewakili populasi penelitian ditinjau dari jenjang sekolah dan jenis sekolah. Penentuan jumlah sampel dengan menggunakan Tabel Krejcie dan Morgan. Adapun Tabel Krejcie dan Morgan seperti pada Tabel2.

  1. Teknik Pengumpulan Data

Sehubungan dengan masalah penelitian, maka karakter populasi dan sampel penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data kuisioner dan wawancara yang dilakukan secara bersama-sama dengan penjelasan, bahwa semua data utama dalam penelitian ini menggunakan kuisioner. Namun apabila ada beberapa hal yang membutuhkan penjelasan sumber data secara khusus, maka pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan wawancara dan observasi.

Penelitian memerlukan data-data yang lengkap dan metode pengumpulan data yang tepat, maka perlu memperhatikan masalah yang akan diteliti, karena hal tersebut berhubungan dengan data yang diperlukan dan juga mengingat kemampuan Peneliti (Arikunto 1998). Sebelum diadakan suatu pengumpulan data, maka yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah menentukan langkah-langkah pengumpulan data.

Adapun langkah-langkah pengumpulan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara sebagai berikut.

  1. Tahap Persiapan Penelitian

Kegiatan yang dilakukan dalam tahap ini adalah menyusun instrumen penelitian, mengkonsultasikan instrumen penelitian dengan dosen pembimbing, mengujicobakan instrumen yang telah dikonsultasikan untuk mengetahui tingkat validitas dan reliabilitasnya, dan mengurus surat perijinan Universitas Islam Negeri Malang yang ditujukan kepada Kepala Dinas Pendidikan Kota Malang untuk mendapatkan surat rekomendasi penelitian.

  1. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Setelah mendapat surat ijin (rekomendasi) dan instrumen telah siap disebarkan, langkah selanjutnya adalah proses pelaksanan penelitian dengan menyebarkan instrumen kepada responden yaitu siswa SMP&SMA Sederajat di Kota Malang. Instrumen yang telah diisi oleh responden kemudian dikumpulkan sesuai dengan kesepakatan bersama. Setelah data terkumpul, langkah selanjutnya adalah proses pengolahan data.

  1. Tahap Pengolahan Data

Proses pengolahan data melalui beberapa langkah yaitu pemeriksaan kembali instrumen, pengklasifikasian data, dan tabulasi data. Pemeriksaan kembali instrumen dilakukan untuk melihat isi angket mengenai kelengkapan dan keabsahan data pengisian yang telah dilakukan. Sebelum diadakan perhitungan dan analisis, langkah yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah mengklasifikasian data sesuai dengan indikator yang telah dikembangkan menjadi beberapa pertanyaan dalam instrumen. Data yang sudah diklasifikasai selanjutnya diseleksi dan diberi kode sesuai dengan bobot atau nilai jawaban yang dipilih pada setiap jawaban responden.

Tabulasi data merupakan kegiatan mentabulasikan data-data dengan mengelompokkan jawaban-jawaban responden kemudian dianalisis frekuensi dan jawaban responden ditabulasi menurut kategori pertanyaan dan jenis data yang telah dikumpulkan. Tahap tabulasi data dilaksanakan dengan pemberian skor terhadap angket yang telah disebar kepada responden. Pemberian skor dilaksanakan untuk mengubah data kualitatif menjadi data kuantitatif agar mudah pengolahannya, sedangkan untuk data kuantitatif dapat langsung diolah.

Metode pengumpulan data penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik angket. Angket adalah salah satu teknik pengumpulan data yang dapat digunakan dalam penelitian untuk memperoleh data suatu informasi dengan cara mengajukan serangkaian pertanyaan secara tertulis, sehingga diperoleh informasi yang lebih luas dan mendalam dari responden (Wiyono 2004). Angket dalam penelitian ini merupakan sumber data yang bersifat primer.

Teknik angket yang digunakan ialah angket tertutup. Angket tertutup adalah angket yang disusun dengan menyediakan pilihan jawaban lengkap, sehingga pengisi tinggal memberi tanda pada jawaban yang dipilih (Wiyono 2004). Teknik angket tertutup digunakan dalam penelitian ini karena mempunyai kelebihan yang memudahkan peneliti untuk memperoleh data dari reKelebihan dari teknik angket tertutup menurut Arikunto (1998) adalah:

  1. Tidak memerlukan kehadiran peneliti,

  2. Dapat dibagikan secara serentak kepada banyak responden,

  3. Dapat dijawab oleh responden menurut kecepatan masing-masing dan menurut senggang waktu responden,

  4. Dapat dibuat anonim, sehingga bagi responden bebas, jujur, dan tidak malu-malu menjawab,

  5. Dapat dibuat standar, sehingga bagi semua responden dapat diberikan pertanyaan yang benar-benar sama.

Angket merupakan teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian bertujuan untuk memperoleh data suatu informasi dengan cara mengajukan serangkaian pertanyaan secara tertulis, sehingga diperoleh informasi yang lebih luas dan mendalam dari responden. Angket yang digunakan dalam penelitian ini adalah angket tertutup yang memberikan kemungkinan jawaban yang berupa alternatif pilihan pada setiap item dan dalam pelaksanaan pengumpulan data angket diberikan langsung kepada responden.

Sebelum angket disusun, langkah yang dilaksanakan adalah menjabarkan variabel-variabel secara rinci dengan maksud agar data yang diperoleh melalui instrumen benar-benar mencerminkan variabel-variabel yang diteliti. Penyusunan angket dalam penelitian ini memiliki tiga tahapan yaitu:

  1. Penyusunan kisi-kisi angket

Digunakan untuk menyusun item-item sesuai dengan data yaitu membuat jabaran variabel menjadi subvariabel dengan beberapa indikator. Indikator tersebut dikembangkan menjadi item pernyataan tentang persepsi remaja terhadap isu-isu terorisme di media massa.

  1. Penyusunan urutan pernyataan

Langkah ini dilakukan agar antara item satu dengan item yang lain berkesinambungan. Pernyataan item dikembangkan berdasarkan jabaran variabel.

  1. Penyusunan format

Penyusunan format merupakan tahap terakhir dalam penyusunan angket yang bertujuan untuk memudahkan responden dalam menjawab angket. Format angket penelitian ini mencakup sampul, kata pengantar, dan petunjuk pengisian angket.

Instrumen disusun berdasarkan hasil identifikasi indikator dari masing-masing variabel dan subvariabel penelitian yang telah ditetapkan. Untuk mengetahui validitas dan reliabilitas instrumen penelitian, maka diadakan uji coba angket. Tujuan uji coba angket adalah untuk mengetahui kelemahan dan pemahaman terhadap butir-butir instrumen, sehingga sebelum disebarkan sudah disempurnakan terlebih dahulu. Hasil uji coba dianalisis untuk mengetahui valid atau tidak dan reliabel atau tidaknya angket dengan menggunakan program komputer SPSS for Windows Release 15.0.

Penyusunan instrumen masing-masing variabel berpedoman pada indikator-indikator yang disajikan pada jabaran variabel. Untuk memperoleh data disiapkan pernyataan dalam bentuk pilihan ganda yang berbentuk pernyataan. Susunan angket berbentuk skala lima dengan kecenderungan rentang ke sebelah kanan mengarah kepada keputusan penilaian rendah atau berkode satu, dan sebaliknya rentang ke sebelah kiri mengarah kepada keputusan penilaian tinggi berkode lima. Pedoman pemberian skor pada setiap alternatif jawaban pada tabel 6 sebagai berikut.

Tabel 6 Pedoman Penilaian Angket

Alternatif

Keterangan

Skor

1

Selalu

5

2

Sering

4

3

Kadang-kadang

3

4

Jarang

2

5

Tidak pernah

1


Adapun pengujian instrumen dalam penelitian ini adalah:

    1. Uji Validitas

Menurut Furchan (1982) validitas berhubungan erat dengan sejauh mana suatu alat mampu mengukur apa yang dianggap orang seharusnya diukur dengan alat tersebut. Untuk pengujian validitas menggunakan teknik Product Moment yang dikembangkan Pearson dengan bantuan komputer program SPSS for Windows Release 15.0, dengan pertimbangan gejala yang diteliti termasuk dalam data interval, sesuai dengan pendapat Hadi (1986) yakni korelasi product moment melukiskan hubungan antara dua variabel, seperti tinggi badan dan berat badan.

Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut.




Keterangan:

rXY = koefisien korelasi antara skor butir dengan skor total,

X = skor butir,

Y = skor total,

N = jumlah sampel analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah

analisis statistik (Labovitz dan Hagedorn 1982).


Jika nilai setiap item pertanyaan lebih dari nilai kritis, maka nilai tersebut dikatakan valid. Adapaun nilai angka kritisnya adalah pada tingkat signifikan 5%. Untuk menguji tingkat validitas dapat dilakukan dengan mengkorelasikan antara total skor masing-masing dengan item-item soal yang diujikan. Suatu soal diakatakan valid apabila r hitung lebih besar dari nilai r tabel.

    1. Uji Reliabilitas

Furchan (1982) mengemukakan reliabilitas suatu alat ukur adalah derajat keajegan alat tersebut dalam mengukur apa saja yang diukur. Reliabilitas dapat diperkirakan dengan cara menganalisis skor-skor yang diperoleh seseorang pada waktu yang berbeda-beda atau dengan kelompok-kelompok pertanyaan yang sepadan. Pengujian reliabilitas dalam penelitian dengan menggunakan rumus Spearman Brown sebagai berikut:

r =

Keterangan:

r = reliabilitas instrumen,

k = banyaknya butir pernyataan,

= jumlah varians butir,

= jumlah total (Sugiyono 2005).

Item-item pada setiap faktor yang reliabel adalah yang memiliki koefisien sama dengan 0,6 atau lebih. Pengukuran reliabilitas dilaksanakan dengan rumus Spearman Brown yaitu dengan membandingkan koefisien reliabilitas hitung dengan nilai indeks 0,6 dapat dikatakan reliabel, jika koefisien reliabilitas hitung lebih besar dari nilai indeks tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Sugiyono (2005) yang menyatakan apabila reliabilitas lebih dari 0,6 maka tes yang diujicobakan cukup terpercaya.

Subjek uji coba penelitian sebaiknya diambil dari populasi yang nantinya tidak akan dikenai sebagai sampel penelitian (Arikunto 1998). Instrumen ini diujicobakan di sekolah dengan responden siswa yang dianggap mempunyai ciri-ciri atau karakteristik yang sama dengan subjek penelitian.

  1. Teknik analisis data

Teknik analisis data merupakan bagian dari metode penelitian yang penting dalam memberikan makna data untuk menjawab permasalahan penelitian. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini sesuai dengan tujuan penelitian yang dibuat. Analisis data merupakan bagian yang penting dalam penelitian, karena data yang dikumpulkan akan mempunyai makna dan menjawab permasalahan dalam penelitian.

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan perhitungan statistik yang datanya berupa data kuantitatif. Perhitungan statistik penelitian ini mencari angka yang menjadi pusat tendensi sentral yang penting dalam suatu penelitian. Tendensi sentral tersebut adalah mean, median, dan mode. Ketiga tendensi tersebut mempunyai cara menghitung yang berbeda-beda dan mempunyai arti yang berbeda pula. Tendensi tersebut digunakan sebagai alat untuk mendeskripsikan suatu distribusi. Penelitian ini menggunakan tendensi sentral Mode (Mo). Hadi (2000:48) mengemukakan sentral Mode (Mo) adalah nilai titik tengah interval kelas yang mempunyai frekuensi tertinggi dalam distribusi. Rumus yang digunakan untuk menentukan Mode adalah:

Mo = b + p

Keterangan:

b = batas bawah kelas mode (interval dengan frekuensi terbanyak),

p = panjang kelas mode,

b = frekuensi kelas mode dikurangi frekuensi kelas tepat di atas kelas mode,

b = frekuensi kelas mode dikurangi frekuensi kelas tepat di bawah kelas mode (Hadi 2000).

Analisis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif korelasional. Analisis deskriptif digunakan untuk mengetahui kondisi variabel yang akan diteliti dan perbandingan skor tiap variabel. Teknik analisis deskriptif ini adalah untuk mendeskripsikan penerapan metode pembelajaran kooperatif model TGT guru mata pelajaran fisika, tingkat pemahaman, dan motivasi belajar siswa. Adapun langkah yang digunakan dalam mendeskripsikan hasil penelitian ini adalah dengan menentukan kualifikasi, menentukan persentase, dan kategori item pernyataan.

Menentukan kualifikasi bertujuan untuk mengetahui bagaimana interval nilai masing-masing variabel berada Selalu (SL), Sering (S), Kadang-kadang (K), Jarang (J), dan Tidak Pernah (TP). Untuk menentukan lebar kelas interval (i) menurut Hadi (2000) adalah:


i =


Setelah data terkumpul maka teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis persentase. Menurut Surakhmad (1982) teknik analisis persentase digunakan untuk mengetahui kondisi variabel-variabel yang akan diteliti dan jumlah perbandingan skor masing-masing subvariabel. Dengan cara ini dapat diketahui kelompok mana yang paling banyak memperoleh jumlah yaitu yang ditentukan oleh nilai yang tinggi dan demikian sebaliknya.

Teknik ini digunakan untuk mengetahui jumlah perbandingan skor variabel dan masing-masing subvariabel, dengan mempertimbangkan gambaran kondisi variabel dan tiap-tiap subvariabel yang akan diteliti Besarnya hasil perhitungan merupakan data yang paling dominan. Suparmoko (1988) mengemukakan teknik analisis untuk mengetahui jumlah perbandingan skor tiap variabel dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

P = × 100 %

Keterangan:

P = penerapan metode pembelajaran kooperatif model TGT guru mata

pelajaran fisika,

F = frekuensi penerapan metode pembelajaran kooperatif model TGT guru

mata pelajaran fisika,

N = jumlah seluruh responden.

Kategori item pernyataan digunakan untuk menggambarkan setiap item pernyataan melalui rata-rata nilai setiap pernyataan yang ditentukan dengan jumlah nilai item dibagi jumlah responden. Selanjutnya rata-rata nilai setiap item pernyataan dibandingkan dengan rata-rata nilai semua item pernyataan dengan menggunakan ketentuan item pernyataan termasuk dalam kategori tinggi (T) apabila rata-rata nilai item pernyataan tersebut lebih besar (>) dari rata-rata nilai semua item pernyataan dan item pernyataan termasuk dalam kategori rendah (R) apabila rata-rata nilai item pernyataan tersebut lebih kecil atau sama dengan () rata-rata nilai semua item pernyataan.

DAFTAR PUSTAKA



Adjie. 2005. Terorisme. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis. Jakarta: Rineka Cipta.

Atkinson, Rita L. 1987 Pengantar Psikologi Edisi Kesebelas. Batam: Interaksara.

Bungin, Burhan. 2006. Metodologi Penelitian Kuantitatif. Jakarta: Kencana.

Dagun, Save M. 2006. Kamus Besar Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara (LPKN).

Mufid, Muhammad. 2007. Komunikasi dan Regulasi Penyiaran. Malang: UIN Press.

Severin, werner J & Tankard, Jr, James W. 2005. Teori komunikasi: sejarah, metode, dan terapan di dalam media massa. Jakarta: Kencana

Hakim, Lukman. 2004. Terorisme di Indonesia. Surakarta: Forum Studi Islam Surakarta (FSIS).

Hurlock, E. 1980. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia. 2008. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002. Jakarta Pusat.

Monks F, Knoers A, Rahayu S. 2002. Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Shaughnessy J, Zechmeister E, Zechmeister J. 2007. Metodologi Penelitian Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sobur, Alex. 2004. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

1 Bungan, burhin. 2004. Metodologi Penellitian Kuantitatif. Jakarta: Kencana Predana Media Group